Wabah sinetron "Preman Pensiun" khususnya di Kota Bandung kini mulai menjalar. Sosok Komar, Kang Bahar, Jamal, Ujang, Imas, Kinanti, Iwan Tyson, Dikdik, Ubed, Saep, hingga si Emak, kini menjadi buah bibir di Kota Bandung. Tayangan ini mampu menghipnotis masyarakat Kota Bandung untuk anteng nonton setiap Senin - Sabtu pukul 17.00 di RCTI.
Hal ini tak lepas dari adegan-adegan dengan tokoh-tokoh yang mampu menghadirkan tayangan komedi cerdas dengan tik tak yang gaya urang Sunda pisan. Belum lagi setting tempat yang ngubek beberapa tempat di Kota Bandung. Tentulah untuk masyarakat Bandung sinetron ini selain hiburan, di sisi lain seakan menonton dokumenter kotanya sendiri.
Hal ini tak lepas dari adegan-adegan dengan tokoh-tokoh yang mampu menghadirkan tayangan komedi cerdas dengan tik tak yang gaya urang Sunda pisan. Belum lagi setting tempat yang ngubek beberapa tempat di Kota Bandung. Tentulah untuk masyarakat Bandung sinetron ini selain hiburan, di sisi lain seakan menonton dokumenter kotanya sendiri.
Kekuatan cerita dengan tokoh-tokoh yang berhasil dihidupkan dengan adanya benang merah antara satu tokoh dengan tokoh lain menjadi ciri khas sinetron ini. Masing-masing tokoh mempunyai ciri khas sendiri yang akhirnya bisa dikatakan semua tokoh adalah pemeran utama. Walaupun setting dan gaya dialog khas urang Bandung, sinetron ini tetap mampu meraih pangsa segmentasi kalangan umum, apalagi ditayangkan di stasiun TV nasional.
Rating sinetron terus menanjak naik. Kekuatan cerita dan adegan-adegan komedi yang berisi dalam sinetron ini tak dilepaskan dari sosok Aris Nugraha, sang penulis cerita sekaligus sutradara sinetron "Preman Pensiun".
Rating sinetron terus menanjak naik. Kekuatan cerita dan adegan-adegan komedi yang berisi dalam sinetron ini tak dilepaskan dari sosok Aris Nugraha, sang penulis cerita sekaligus sutradara sinetron "Preman Pensiun".
Profil Aris Nugraha
Aris Nugraha, pria Asgar (asli Garut) ini memang mbahnya sinetron komedi. Sutradara dan penulis skenario produktif dan berbakat ini kerap masuk nominasi di ajang festival yang berhubungan dengan dunia akting. Ia pernah masuk nominasi Festival Film Bandung 2003 ('Bajaj Bajuri'), 2005 ('Radio Repot') dan 2011 ('Udin Bui'). Selain itu, karya-karyanya yang lain adalah 'Tante Tuti' (Film Cerita Serial Televisi Terbaik Festival Film Indonesia 2006), 'Kejar Kusnadi', 'The Coffee Bean Show', 'Camera Cafe', 'The Adventures of Suparman', dan 'Raj's Family'.
Pria yang pernah menerbitkan buku antologi puisi di tahun 90-an 'Catatan Gunung Sahari' (Puspa Swara, 1993) dan 'Nyanyian Hutan Bakau' (Pustaka Sastra, 1994) ini memang spesialis dalam urusan sinetron komedi. Untuk urusan penulisan skenario, Kang Aris pun tak segan berbagi ilmu untuk meregenerasi penulis-penulis televisi berbakat.
Ia pun membentuk workshop tempat penulisan naskah komedi dengan membuka ANP Writing Group yang kini telah berubah nama menjadi ANP FILMS. Melalui ANP Films, Aris yang bertindak sebagai creator/creative supervisor menelorkan generasi muda yang karya-karyanya juga sudah ditayangkan di televisi. Karya-karya tayangan lainnya antara lain sitkom 'OB', 'Suami-suami Takut Istri', 'Kejar Tayang' dan banyak lagi.
Ia pun membentuk workshop tempat penulisan naskah komedi dengan membuka ANP Writing Group yang kini telah berubah nama menjadi ANP FILMS. Melalui ANP Films, Aris yang bertindak sebagai creator/creative supervisor menelorkan generasi muda yang karya-karyanya juga sudah ditayangkan di televisi. Karya-karya tayangan lainnya antara lain sitkom 'OB', 'Suami-suami Takut Istri', 'Kejar Tayang' dan banyak lagi.
Sinetron: Antara Tontonan dan Tuntunan
Penyair kelahiran Venosa Italia, Quintus Horatius Flaccus dalam tulisannya yang berjudul Ars Poetica mengemukakan istilah ‘dulce et utile’. Bahwa karya berfungsi
ganda, ia tidak hanya menghibur (dulce)
tetapi juga memberikan makna/nilai-nilai (utile) terhadap kehidupan. Itulah yang selama ini prinsip yang dipegang oleh Kang Aris.
Dalam perbincangan serius tapi santai yang dilakukan wisatabdg.com dengan Kang Aris pada 02/02/2015, di basecamp "Preman Pensiun" di kawasan Jln. Lodaya, Bandung, ia menuturkan bahwa idealisme itu penting dalam kelahiran sebuah karya. Ia tak mau "melacurkan" diri hanya demi urusan bisnis atau profit semata.
"Ada tanggung jawab moral bagi saya dalam menyelipkan pesan-pesan kehidupan dalam karya-karya yang saya buat. Saya ingin karya tersebut bisa dinikmati semua kalangan dan tentunya mampu memberikan pencerahan bagi para penonton tanpa harus menampilkan adegan-adegan yang terkesan kaku dan menggurui dalam urusan pemahaman nilai-nilai kehidupan," papar Kang Aris.
Bagi sosok yang oleh pemain dan kru dianggap bapak, guru, dan sahabat ini urusan sinetron bukan menjual mimpi. Tayang komedi pun begitu, bukan sekadar hanya bikin penonton tertawa tapi tidak mengambil hikmah dalam adegan-adegan yang dipertontonkan. Tayangan komedi adalah wilayah humor dimana dalam penggarapannya justru menuntut keseriusan tingkat tinggi.
"Penonton diharapkan mampu lebih peka terhadap kenyataan yang ada. Dalam berkarya, saya menjauhkan sinetron sekadar komedi semata karena saat pembuatan naskahnya pun saya lakukan dengan sangat serius. Saya memang dikenal tegas untuk urusan ini. Saya selalu menuntut semua pemain serius melakukan semua dialog dan ekspresi seperti yang ada di dalam naskah. Jadi, naskah mutlak, karena bagi saya membuat rancangan sinetron 90 persen selesai di otak," jelas Kang Aris.
Karyamu Sejarahmu!
Bagi Kang Aris Nugraha, karya adalah media bagi manusia untuk menunjukkan eksistensi sebagai manusia. Karya baginya adalah jejak dalam periode kehidupan manusia yang seiring berjalannya waktu tak lain adalah jejak sejarah dalam rekaman hidup manusia. Untuk itulah, karya hendaknya mampu memberikan manfaat secara horizontal (manusia) dan dapat dipertanggungjawabkan secara vertikal (Tuhan). Untuk itulah, karya harus lahir dari hati yang paling dalam dan jujur pada diri sendiri.
Baginya, untuk para pemain pun sebetulnya manusia sudah dibekali jiwa aktor. Untuk urusan pemilihan pemain, Kang Aris tidak menerapkan pola kaku. Penunjukkan pemain baginya urusan feeling dan kecocokan dengan naskah yang ia buat. Misalnya, untuk pemilihan para pemain sinetron "Preman Pensiun", selain para pemain yang sudah malang melintang di jagat entertainment di Jakarta, ia pun mengambil sosok-sosok baru dari Bandung. Inilah tantangannya, bagaimana pemain sekelas Didi Petet harus beradegan dengan para pemain-pemain baru. Tapi hal tersebut bisa diambil solusinya dengan mengedepankan unsur kekeluargaan dan sharing ilmu peran antarpemain.
Baginya, untuk para pemain pun sebetulnya manusia sudah dibekali jiwa aktor. Untuk urusan pemilihan pemain, Kang Aris tidak menerapkan pola kaku. Penunjukkan pemain baginya urusan feeling dan kecocokan dengan naskah yang ia buat. Misalnya, untuk pemilihan para pemain sinetron "Preman Pensiun", selain para pemain yang sudah malang melintang di jagat entertainment di Jakarta, ia pun mengambil sosok-sosok baru dari Bandung. Inilah tantangannya, bagaimana pemain sekelas Didi Petet harus beradegan dengan para pemain-pemain baru. Tapi hal tersebut bisa diambil solusinya dengan mengedepankan unsur kekeluargaan dan sharing ilmu peran antarpemain.
Keberhasilan timbulnya chemistry antarpemain juga keberhasilan sinetron dapat diterima masyarakat, karena ada rasa intim antara penonton dengan apa yang ditayangkan. Begitu pula dalam urusan pemilihan pemain, Kang Aris mengambil beberapa pemain debutan dari casting yang diadakan juga ia hunting sendiri. Bahkan untuk beberapa pemain pun, ia tak segan untuk mengambil pemain dengan latar belakang sama yang ia perankan. Misalnya, untuk pemeran beberapa preman memang sang pemeran pun adalah preman asli.
"Tuh, seperti Romyan Fauzan yang memerankan Uyan. Saya ajak ketika ia sedang asyik memotret di sebuah tempat di Bandung. Kebetulan waktu itu saya sedang jalan-jalan di seputaran Bandung. Atau Matt Drajat yang tiba-tiba saja saya keingetan namanya; waktu saya disuruh pihak RCTI untuk menggarap sinetron ini. Saya memang sudah lama tak mengontak Matt Drajat dan mungkin nomornya saya sudah tak ada di HP dia. Eeeh... ketika saya SMS untuk ikut main di sinetron ini, ia malah balas: Siapa ini ya? Hahahaha...." Kang Aris nyakakak sambil menunjuk sosok tokoh Kang Komar yang ikut seuri kuda yang duduk ikut ngariung bersama pemain-pemain "Preman Pensiun" lainnya.
Kekeluargaan, itulah yang kami tangkap saat ngobrol santai dengan Kang Aris sore itu. Para pemain seperti sedang "mendownload" ilmu tentang dunia peran yang dipaparkan Kang Aris. Begitu pula, bagi Kang Aris kerjaan bikin sinetron seperti mesin, hal terkecil pun harus diperhitungkan dengan baik. Karena jika ada gangguan sedikit pun akan mempengaruhi pada kualitas proses dan hasil kerja. Makanya bagi Kang Aris tak ada istilah pemain "anak emas", apalagi dominasi. Para pemain adalah aset sekaligus yang memberi warna pada hasil kerja. Jika karya dilakukan dengan hati, penikmat pun akan menerimanya dengan hati.
"Keun, urusan materi dan sebagainya mah... engke ge nuturkeun. Yang penting kita kerja profesional, dibarengi hati, dalam tim saling menghargai, semua paham kondisi, dan tentunya kita kerja punya tanggung jawab pada masyarakat yang menonton. Masyarakat sekarang ini sudah semakin cerdas dalam memilih tayangan. Untuk itulah, saya nganuhukeun pisan kepada semua para penikmat sinetron Preman Pensiun, khususnya warga Bandung. Terima kasih atas apresiasi yang luar biasa atas karya kami ini," pungkas Kang Aris yang kemudian siap-siap menghidupkan mesin motornya untuk melanjutkan take selanjutnya di kawasan Antapani.
-----------
Baca info-info wisatabdg.com lainnya di GOOGLE NEWS