Bicara Forum Film Bandung (FFB) adalah bicara manusia-manusia yang penuh idealis dari Bandung seta netral dari segala kepentingan dalam menilai sebuah film atau kegiatan yang berhubungan. Layaknya Kota Kreatif, Bandung patut berbangga dengan hadirnya orang-orang yang terus konsisten untuk mengapresiasi film dari dulu hingga kini.
Dulu biasanya setiap hari Jumat sore, para apresiator film ini biasa melakukan kegiatan nonton bersama di salah satu bioskop khusus milik Ir. Chand Parwez Servia, bos perusahaan film PT Kharisma Jabar juga juragan rumah produksi PT Starvision. Setelah menonton, mereka menulis review film dan biasanya dimuat di koran Pikiran Rakyat.
Berbagai Kalangan
Di belakang forum yang berdiri pada 1987 ini, ada tokoh di belakang FFB Prof. Sutardjo dan Prof. Sudjoko yang berasal dari kalangan akademis/kampus. Ada juga Jakob Sumardjo, Eddy D. Iskandar, dan Duduh Durahman yang berlatar belakang budayawan. Sedangkan dari kalangan wartawan ada Us Tiarsa, MH Giyarno, dan Arief Gustaman. Nama-nama lain yang ikut membidani Forum Film Bandung adalah: Dr. Edison Nainggolan, Prof. Drs. Saini KM, , Hernawan, S.H., Yayat Hendayana, Drs. Sunaryo, Dra. Sofia F. Mansoor, Suyatna Anirun, Hilman Riphansa, H. Bram M. Darmaprawira, Yus R. Ismail, dll.
Di belakang forum yang berdiri pada 1987 ini, ada tokoh di belakang FFB Prof. Sutardjo dan Prof. Sudjoko yang berasal dari kalangan akademis/kampus. Ada juga Jakob Sumardjo, Eddy D. Iskandar, dan Duduh Durahman yang berlatar belakang budayawan. Sedangkan dari kalangan wartawan ada Us Tiarsa, MH Giyarno, dan Arief Gustaman. Nama-nama lain yang ikut membidani Forum Film Bandung adalah: Dr. Edison Nainggolan, Prof. Drs. Saini KM, , Hernawan, S.H., Yayat Hendayana, Drs. Sunaryo, Dra. Sofia F. Mansoor, Suyatna Anirun, Hilman Riphansa, H. Bram M. Darmaprawira, Yus R. Ismail, dll.
Seperti halnya komunitas, mereka menyaksikan film secara bersama-sama, mendiskusikannya, dan mensosialisasikan pendapat mereka kepada masyarakat lewat jalur media atau komunitas lain. Perjalanan FFB yang netral dan tidak berorientasi profit ini tentulah tidak mudah untuk terus menapaki rel kebersamaan dan kekonsistenan. Apalagi mereka juga mengadakan sebuah ajang apresiasi rutin yang bernama Festival Film Bandung.
Dengan adanya media "gratisan" menonton film atas kebaikan PT Kharisma Jabar Film Bandung, rangsangan untuk menganalisis film, dan kebutuhan untuk bertemu dan bertukar pikiran secara tetap, menimbulkan gagasan untuk mewujudkan suatu kesimpulan atas film-film yang disaksikan bersama, akhirnya didirikanlah Festival Film Bandung.
Dengan adanya media "gratisan" menonton film atas kebaikan PT Kharisma Jabar Film Bandung, rangsangan untuk menganalisis film, dan kebutuhan untuk bertemu dan bertukar pikiran secara tetap, menimbulkan gagasan untuk mewujudkan suatu kesimpulan atas film-film yang disaksikan bersama, akhirnya didirikanlah Festival Film Bandung.
Film Terpuji dan Narafilm Terpuji
Pada 31 Maret 1988 untuk pertama kalinya Film Terpuji dan Narafilm Terpuji diumumkan dalam sebuah konferensi pers yang diadakan di Rumah Makan Babakan Siliwangi (Baksil) Bandung. Awalnya, Forum Film Bandung bernama Festival Film Bandung. Akann tetapi, Harmoko (Menteri Penerangan pada waktu itu) menyatakan bahwa satu-satunya festival film di Indonesia adalah Festival Film Indonesia (FFI).
Kasarnya, waktu itu tidak boleh ada festival film "tandingan" alias abal-abal kecuali versi pemerintah. Sejak itu FFB tidak boleh melakukan kegiatan dengan menggunakan istilah festival, dan dihimbau untuk berganti nama. Maka, atas inisiatif Prof. Sudjoko, M.A., Ph.D. dalam rapat FFB, diputuskanlah penggunaan nama “Festival Film Bandung (FFB)".
Ketika Harmoko gusar dengan tak adanya film terbaik di FFI, misalnya, FFB malah berani memutuskan: memang tidak ada film Indonesia yang patut mendapat penghargaan. Penilaian negatif ini terus berlangsung sejak 1992 hingga 2000, ketika film-film beraroma seks menjejali bioskop. FFB juga tak terpengaruh oleh kepentingan siapa pun, termasuk dari kalangan produser. Seperti halnya yang pernah dikatakan Slamet Rahardjo: independensi dan konsistensi inilah yang membuat FFB tetap bertahan sampai sekarang.
Kasarnya, waktu itu tidak boleh ada festival film "tandingan" alias abal-abal kecuali versi pemerintah. Sejak itu FFB tidak boleh melakukan kegiatan dengan menggunakan istilah festival, dan dihimbau untuk berganti nama. Maka, atas inisiatif Prof. Sudjoko, M.A., Ph.D. dalam rapat FFB, diputuskanlah penggunaan nama “Festival Film Bandung (FFB)".
FFB juga dulu pernah menerbitkan buletin mingguan yang mengulas film-film yang dicermati FFB. Namun lagi-lagi, pihak rezim waktu itu memberangus buletin FFB ini. Alasannya biasa terjadi pada waktu itu: buletin FFB terbit tanpa dilengkapi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers. Buletin indie ini biasa dibagikan gratis kepada masyarakat di loket-loket bioskop. Tujuannya sebatas jembatan antara FFB dan masyarakat saja.
Ketika Harmoko gusar dengan tak adanya film terbaik di FFI, misalnya, FFB malah berani memutuskan: memang tidak ada film Indonesia yang patut mendapat penghargaan. Penilaian negatif ini terus berlangsung sejak 1992 hingga 2000, ketika film-film beraroma seks menjejali bioskop. FFB juga tak terpengaruh oleh kepentingan siapa pun, termasuk dari kalangan produser. Seperti halnya yang pernah dikatakan Slamet Rahardjo: independensi dan konsistensi inilah yang membuat FFB tetap bertahan sampai sekarang.
Idealisme Apresiasi Film
Kekonstistenan dari zaman Orde Baru hingga zaman SBY, Forum Film Bandung terus berada dalam jalur idealisme dalam mengapresiasi/pengamatan film. Walaupun ada beberapa anggotanya yang telah meninggal dunia. Berbeda dengan Festival Film Indonesia (FFI) yang menggunakan istilah Panitia dan Dewan Juri, waktu itu FFB menggunakan istilah “Regu Pengurus” dan “Regu Pengamat”. Ketua Regu Pengurus FFB pertama adalah Ir. Chand Parwez Servia, sedangkan Ketua Regu Pengamat FFB pertama, Prof. Sudjoko, M.A., Ph.D. Dewan Penasihat terdiri dari Ateng Wahyudi (Wali Kota Bandung), dan Bram M. Darmaprawira (Pemimpin Redaksi HU Pikiran Rakyat).
Kekonstistenan dari zaman Orde Baru hingga zaman SBY, Forum Film Bandung terus berada dalam jalur idealisme dalam mengapresiasi/pengamatan film. Walaupun ada beberapa anggotanya yang telah meninggal dunia. Berbeda dengan Festival Film Indonesia (FFI) yang menggunakan istilah Panitia dan Dewan Juri, waktu itu FFB menggunakan istilah “Regu Pengurus” dan “Regu Pengamat”. Ketua Regu Pengurus FFB pertama adalah Ir. Chand Parwez Servia, sedangkan Ketua Regu Pengamat FFB pertama, Prof. Sudjoko, M.A., Ph.D. Dewan Penasihat terdiri dari Ateng Wahyudi (Wali Kota Bandung), dan Bram M. Darmaprawira (Pemimpin Redaksi HU Pikiran Rakyat).
Seiring dengan perjalanan waktu, pengamatan film pun tidak sebatas film yang diputar di bioskop, namun juga ada pengkategorian film yang ditayangkan di televisi (sinetron). Festival Film Bandung dianggap sebagai barometer dalam penilaian film-film berkualitas yang bebas dari tekanan atau kepentingan tertentu. Untuk istilah penganugerahan, Festival Film Bandung mempunyai beberapa kategori, misalnya: Film Terpuji, Pemeran Utama Terpuji, Penata Musik Terpuji, Life Time Achievement, dll.
Ketika Menteri Penerangan waktu itu gusar karena tidak adanya film terbaik di FFI, misalnya, FFB malah berani memutuskan: memang tidak ada film Indonesia yang patut mendapat penghargaan. Kondisi film pada era 1992 hingga 2000-an, memang sangat turun kualitasnya. Waktu bioskop dibombardir dengan tayangan film esek-esek yang menjadi masa kelam film Indonesia.
Seiring dengan perjalanan waktu, film Indonesia kembali bangkit. Dan Fertival Film Bandung pun kembali bergairah untuk terus memberikan penilaian terhadap film-film yang "bermutu dan bergizi" bagi masyarakat.
Seiring dengan perjalanan waktu, film Indonesia kembali bangkit. Dan Fertival Film Bandung pun kembali bergairah untuk terus memberikan penilaian terhadap film-film yang "bermutu dan bergizi" bagi masyarakat.
-----------
Baca info-info wisatabdg.com lainnya di GOOGLE NEWS