Beruntunglah Bandung memiliki seniman fenomenal sekaliber Kang Harry Roesli. Seniman nyentrik bernama lengkap Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli ini lahir di Bandung, 10 September 1951 (meninggal di Jakarta, 11 Desember 2004 pada umur 53 tahun). Ia adalah seniman yang melahirkan budaya musik kontemporer yang berbeda, komunikatif dan konsisten memancarkan kritik sosial. Karya- karyanya konsisten memunculkan kritik sosial secara lugas dalam watak musik teater lenong. Harry berpenampilan khas, berkumis, bercambang, berjanggut lebat, berambut gondrong dan berpakaian serba hitam dan ngomong ceplas-ceplos tapi berisi.
Sastrawan Marah Roesli (penulis roman Siti Nurbaya) adalah kakeknya. Harry merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahnya Mayjen (pur) Roeshan Roesli. Istrinya bernama Kania Perdani Handiman dan dua anak kembarnya bernama Layala Khrisna Patria dan Lahami Khrisna Parana. Ia punya keunikan dibanding ketiga orang kakaknya yang semuanya jadi dokter spesialis, mengikuti jejak ibunya yang dokter spesialis anak. Harry ingin jadi insinyur, lalu kuliah di ITB.
Karena menyenangi senang musik, Fakultas Teknik ITB pun ia tinggalkan. Ketiga orang kakaknya mendukung. Bahkan ibunya berkata, Biarkan Harry jadi dokter musik. Namun untuk serius bermain musik ayahnya tidak setuju. Ayahnya menganggap bahwa anak band identik dengan mabuk-mabukan. Karena Harry bersikeras, ayahnya pun mengizinkan, dengan syarat: asal tak dikomersilkan! Syarat ayahnya itulah yang kemudian menjadi salah satu warna musik Harry. Tidak komersial. Harry menganggap musiknya tidak laku dijual karena merupakan eksperimen, analisa, dan konsentrasi. Idealisme ini menjadi ciri khasnya dalam berkarya. Walaupun pada perjalanannya ia sempat mendapat kritikan akan sikap idealismenya, karena menjadi juri di salah satu ajang pencarian bakat di sebuah tv swasta; yang identik dengan ngepop.
Pada awal 1970-an, namanya sudah mulai melambung. Saat membentuk kelompok musik Gang of Harry Roesli bersama Albert Warnerin, Indra Rivai dan Iwan A Rachman. Lima tahun kemudian (1975) kelompok musik ini bubar.
Di tengah kesibukannya bermain band, dia pun mendirikan kelompok teater Ken Arok, 1973. Setelah melakukan beberapa kali pementasan, antara lain, Opera Ken Arok di TIM Jakarta pada Agustus 1975, grup teater ini kemudian bubar, karena Harry mendapat beasiswa dari Ministerie Cultuur, Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM), belajar ke Rotterdam Conservatorium, Belanda. Selama menuntutilmu di Ministerie Culture Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM), kebutuhan sehari-harinya tidak terpenuhi. Ia kemudian bermain piano di restoran-restoran Indonesia, atau main band dengan anak-anak keturunan Ambon di sana. Ketika pulang liburan, ia menikah dengan Kania Perdani Handiman, yang diboyongnya ke Belanda. Karya Harry Roesli kerap dipakai kelompok Teater Mandiri dan Teater Koma untuk musik drama.
Gelar Doktor Musik diraihnya pada tahun 1981, kemudian selain tetap berkreasi melahirkan karya-karya musik dan teater, juga aktif mengajar di Jurusan Seni Musik di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Universitas Pasundan Bandung.
Harry juga kerap membuat aransemen musik untuk teater, sinetron dan film, di antaranya untuk kelompok Teater Mandiri dan Teater Koma. Juga menjadi pembicara dalam seminar-seminar di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri, serta aktif menulis di berbagai media, salah satunya sebagai kolumnis Kompas Minggu.
Selain itu juga membina para seniman jalanan dan kaum pemulung di Bandung lewat Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang didirikannya. Rumahnya di Jl WR Supratman 57 Bandung dijadikan markas DKSB. Rumah inilah yang pada tahun 1998 menjadi pusat aktivitas relawan Suara Ibu Peduli di Bandung. Rumah ini ramai dengan kegiatan para seniman jalanan dan tempat berdiskusi para aktivis mahasiswa.
Dimana kerap lahir karya-karya yang sarat kritik sosial dan bahkan bernuansa pemberontakan terhadap kekuasaan Orde Baru. Bersama DKSB dan Komite Mahasiswa Unpar, Harry Roesli mementaskan pemutaran perdana film dokumenter Tragedi Trisakti dan panggung seni dalam acara "Gelora Reformasi" di Universitas Parahyangan. Dalam acara ini kembali dinyanyikan lagu Jangan Menangis Indonesia dari album LTO (Lima Tahun Oposisi), Musica Studio, 1978.
Kumpulan tulisan Harry Roesli dalam kolom Asal Usul yang dimuat di harian Kompas termaktub dalam buku Republik Funky. Tulisan-tulisan dalam buku ini ringan, penuh sindiran, humor tapi menohok. Harry pun selalu melakukan permainan kata. Bukan sekadar menjebak pembaca dalam tawa atau cengengesan berkepanjangan. Namun, ada kandungan makna dibalik pemutarbalikan kata yang dilakukan si biang bengal ini. Ketika semua orang berlaku tak ambil pusing, tidak peduli akan keadaan negeri, Harry Roesli menyindirnya dengan:"Inilah republik yang sudah menjadi Republik Cuek alias Republik Funky."
Setelah reformasi, saat pemerintahan BJ Habibie, salah satu karyanya yang dikemas 24 jam nonstop juga nyaris tidak bisa dipentaskan. Juga pada awal pemerintahan Megawati, dia sempat diperiksa Polda Metro Jaya gara-gara memelesetkan lagu wajib Garuda Pancasila. Harry meninggal dunia hari Sabtu 11 Desember 2004, pukul 19.55 di RS Harapan Kita, Jakarta.
Gelar Doktor Musik diraihnya pada tahun 1981, kemudian selain tetap berkreasi melahirkan karya-karya musik dan teater, juga aktif mengajar di Jurusan Seni Musik di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Universitas Pasundan Bandung.
Selain itu juga membina para seniman jalanan dan kaum pemulung di Bandung lewat Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang didirikannya. Rumahnya di Jl WR Supratman 57 Bandung dijadikan markas DKSB. Rumah inilah yang pada tahun 1998 menjadi pusat aktivitas relawan Suara Ibu Peduli di Bandung. Rumah ini ramai dengan kegiatan para seniman jalanan dan tempat berdiskusi para aktivis mahasiswa.
Dimana kerap lahir karya-karya yang sarat kritik sosial dan bahkan bernuansa pemberontakan terhadap kekuasaan Orde Baru. Bersama DKSB dan Komite Mahasiswa Unpar, Harry Roesli mementaskan pemutaran perdana film dokumenter Tragedi Trisakti dan panggung seni dalam acara "Gelora Reformasi" di Universitas Parahyangan. Dalam acara ini kembali dinyanyikan lagu Jangan Menangis Indonesia dari album LTO (Lima Tahun Oposisi), Musica Studio, 1978.
Kumpulan tulisan Harry Roesli dalam kolom Asal Usul yang dimuat di harian Kompas termaktub dalam buku Republik Funky. Tulisan-tulisan dalam buku ini ringan, penuh sindiran, humor tapi menohok. Harry pun selalu melakukan permainan kata. Bukan sekadar menjebak pembaca dalam tawa atau cengengesan berkepanjangan. Namun, ada kandungan makna dibalik pemutarbalikan kata yang dilakukan si biang bengal ini. Ketika semua orang berlaku tak ambil pusing, tidak peduli akan keadaan negeri, Harry Roesli menyindirnya dengan:"Inilah republik yang sudah menjadi Republik Cuek alias Republik Funky."
Setelah reformasi, saat pemerintahan BJ Habibie, salah satu karyanya yang dikemas 24 jam nonstop juga nyaris tidak bisa dipentaskan. Juga pada awal pemerintahan Megawati, dia sempat diperiksa Polda Metro Jaya gara-gara memelesetkan lagu wajib Garuda Pancasila. Harry meninggal dunia hari Sabtu 11 Desember 2004, pukul 19.55 di RS Harapan Kita, Jakarta.
-----------
Baca info-info wisatabdg.com lainnya di GOOGLE NEWS